Untukmu Lelaki di seberang takdirku
Oleh : Jarwati
Kekasih, ketika
kini tak dapat kutemui ragamu, tak dapat kudengar suaramu, dan tak lagi
kunikmati senyummu, aku tak tau apa yang harus kulakukan, bagiku mengenangmu di
meja kedai kopi kegemaran kita adalah bentuk penghambaanku pada kerinduan, aku
tau bahwa itu akan sia-sia, namun kuharap kau tak pernah lupa bahwa di setiap
cangkir kopi yang kita pesan ampasnya telah menyimpan banyak kenangan.
Pada sesuatu
yang sia-sia aku berharap. Ya.. aku berharap! Namun tetap saja tak kutemukan suaramu
disana, yang kudengar hanya gaung panjang perpisahan. Mengenangmu adalah upaya
terakhirku untuk dapat menemukan suaramu, meski kutau bahwa kata pamit yang
diucapkan diammu adalah suara paling hening yang pernah kudengar.
Kekasih, rindu ini
terbentang antara diriku dan ketidakhadiranmu, demi sunyi dan sepi yang
bersemayam di nadiku, jika masih ada yang kuharapkan di muka bumi ini, pastilah
itu berbentuk kau tetap ada di seberang mejaku; menatapku atau apa saja, agar
rinduku tetap bermakna.
Dimanapun kini kau
berada, sedang apapun kau saat ini, aku ingin berkabar bahwa disini ada ragaku
yang sabar menanti dan mengharap kau kembali. Aku seperti ini bukan tanpa
alasan, aku tak ingin jika nanti diujung penantian kau terus saja demikian
hingga aku dilumat habis kesepian pada bimbang yang tak berujung jawaban.
Ketahuilah
kekasih, di setiap sujudku pada Tuhan aku bertanya pada musim apa kita akan
dipertemukan. tanpa menangis dan kata-kata manis kau bersepakat untuk
perjalananmu, tanpa aku dan kecupku hanya berbekal kata-kata cinta yang terus
menyusuri rasa laraku, katamu satu musim saja cukup untuk pergi namun sudah dua
musim kau tak kunjung kembali.
Ah entahlah… yang
kutau Tuhan memang sengaja menciptakan perpisahan, agar kenangan mendapatkan
haknya, walaupun sejatinya perpisahan itu tak pernah ada sebab kita selalu
bertemu di alam lain bernama Do’a.
Ponorogo,
Juli 2018