Rabu, 18 Juli 2018

Untukmu Lelaki di seberang takdirku


Untukmu Lelaki di seberang takdirku
Oleh : Jarwati


            Kekasih, ketika kini tak dapat kutemui ragamu, tak dapat kudengar suaramu, dan tak lagi kunikmati senyummu, aku tak tau apa yang harus kulakukan, bagiku mengenangmu di meja kedai kopi kegemaran kita adalah bentuk penghambaanku pada kerinduan, aku tau bahwa itu akan sia-sia, namun kuharap kau tak pernah lupa bahwa di setiap cangkir kopi yang kita pesan ampasnya telah menyimpan banyak kenangan.
Pada sesuatu yang sia-sia aku berharap. Ya.. aku berharap! Namun tetap saja tak kutemukan suaramu disana, yang kudengar hanya gaung panjang perpisahan. Mengenangmu adalah upaya terakhirku untuk dapat menemukan suaramu, meski kutau bahwa kata pamit yang diucapkan diammu adalah suara paling hening yang pernah kudengar.
            Kekasih, rindu ini terbentang antara diriku dan ketidakhadiranmu, demi sunyi dan sepi yang bersemayam di nadiku, jika masih ada yang kuharapkan di muka bumi ini, pastilah itu berbentuk kau tetap ada di seberang mejaku; menatapku atau apa saja, agar rinduku tetap bermakna.
            Dimanapun kini kau berada, sedang apapun kau saat ini, aku ingin berkabar bahwa disini ada ragaku yang sabar menanti dan mengharap kau kembali. Aku seperti ini bukan tanpa alasan, aku tak ingin jika nanti diujung penantian kau terus saja demikian hingga aku dilumat habis kesepian pada bimbang yang tak berujung jawaban.
            Ketahuilah kekasih, di setiap sujudku pada Tuhan aku bertanya pada musim apa kita akan dipertemukan. tanpa menangis dan kata-kata manis kau bersepakat untuk perjalananmu, tanpa aku dan kecupku hanya berbekal kata-kata cinta yang terus menyusuri rasa laraku, katamu satu musim saja cukup untuk pergi namun sudah dua musim kau tak kunjung kembali.
            Ah entahlah… yang kutau Tuhan memang sengaja menciptakan perpisahan, agar kenangan mendapatkan haknya, walaupun sejatinya perpisahan itu tak pernah ada sebab kita selalu bertemu di alam lain bernama Do’a.           
                                               
                                                                                                Ponorogo, Juli 2018

Rabu, 04 Juli 2018

Jual beli sekolah

*jual beli sekolah*
By : intelektual bebas

Pamflet, video promosi higga pembagian kursi bagi yang punya duit menandai datangnya proses penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah, Negeri maupun Swasta, tak peduli soal kualitas pendidikannya, sekolah mengejar sertifikat internasional demi gengsi dan nama baik, tak khayal dana digelontorkan sebanyak mungkin demi meraih puja-puji masyarakat. 

Pada situasi lainnya, anak-anak miskin kian meratapi keadaannya, melanjutkan sekolah kerap hanya ilusi sebab dibenturkan keadaan ekonomi, sekolah memang seringkali hanya untuk orang kaya sahaja. Dibalik keadaan pelik inilah, sekolah menghias dirinya penuh kemunafikan, membangun gedung-gedung tinggi sambil menepuk dada. 

Kerap saya terheran-heran dengan sekolah-sekolah swasta yang memaksakan keadaan untuk diakui sebagai sekolah berkualitas, berselingkuh dengan lembaga akreditasi agar diberi bintang tinggi, sungguh potret pendidikan yang semu dan palsu. Seorang mahasiswa berkata kepada saya “sungguh saya heran dengan fakultas, nilaiku yang tinggi tak sesuai dengan ilmu dalam otakku”, demikianlah lembaga pendidikan “memaksa” dirinya berkualitas diantara ketidakbecusan para guru dan dosen. 

Kini penerimaan siswa baru telah dimulai, slogan-slogan telah disampaikan dengan nada indah sambil mengharapkan banyak siswa dan orangtua yang terpikat agar banyak dana yang masuk dalam sekolah, tentu salah satunya adalah sebagai ladang “merampok” para pemangku kebijakan lembaga sekolah. Demi meraih untung banyak, ada banyak petinggi sekolah yang menyiapkan kursi untuk orang kaya. 

Sebagai drama agar disangka adil dan terbuka, sekolah mengadakan tes-tes palsu, yang terpilah adalah yang kaya dan yang sederhana tak akan mendapat kesempatan sekolah. Pola inilah yang berlaku setiap tahun.

Sekolah memang sudah banyak berubah, kini nyaris seluruh lembaga sekolah bersaing “mati-matian” demi mendongkrak popularitas sambil semakin luput membina kualitas. Sekiranya inilah yang disebut komersialisasi pendidikan, lembaga pendidikan tak ubahnya ladang mencari untung rupiah saja sambil melupa untuk mencerdaskan anak bangsa secara paripurna. Pembangunan karakter adalah fiktif! Yang nyata adalah perusakan karakter dan cara pandang anak sedari awal memasuki sekolah.

Selamat datang para siswa baru dalam seluruh kisah palsu di sekolah-sekolah, sekejap lagi anda akan dibentuk menjadi manusia pejabat dan penjahat. Siapkan nyali, yang bertahan dalam arus pendidikan yang menjemukan hanyalah siswa yang melawan dan berani mempertanyakan keadaan!

*Intelektual bebas*