One Call Away part 1
Cerpen Karangan: Anam_gg
“Kenapa aku?”
“Ya kamulah.” Tania menjawab jutek. Aku hanya menunduk.
“Sekarang gini deh, yang pacar aku siapa? Kan kamu! Masa aku minta tolong orang lain buat ngelakuin hukuman aku? Terus apa gunanya kamu?”
Aku mengangkat pandanganku. Ingin protes, tapi raut wajah Tania yang sedikit kesal membuatku mengurungkan niat.
“Ya kamulah.” Tania menjawab jutek. Aku hanya menunduk.
“Sekarang gini deh, yang pacar aku siapa? Kan kamu! Masa aku minta tolong orang lain buat ngelakuin hukuman aku? Terus apa gunanya kamu?”
Aku mengangkat pandanganku. Ingin protes, tapi raut wajah Tania yang sedikit kesal membuatku mengurungkan niat.
“Ya udah iya, sayang. Aku yang bakal ngelakuin hukuman kamu buat
ngeberesin gudang sekolah karena udah bolos sekolah.”
“Nah gitu dong.” Tania melebarkan senyumnya. Aku ikut terseyum melihatnya bahagia. “Oh iya, Van. Sekalian kerjain tugas kimia aku ya?”
Lagi-lagi dia memintaku mengerjakan tugasnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.
“Emangnya kenapa kamu nggak bisa ngerjain? Kamu nggak ngerti? Mau belajar bareng?”
“Udahlah nggak usah banyak tanya.” Tania mendecak sebal.
“Ya kan aku perlu tahu.” Aku berkata, lirih. Sial. Aku benci menjadi lembek di depan Tania.
“Nah gitu dong.” Tania melebarkan senyumnya. Aku ikut terseyum melihatnya bahagia. “Oh iya, Van. Sekalian kerjain tugas kimia aku ya?”
Lagi-lagi dia memintaku mengerjakan tugasnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.
“Emangnya kenapa kamu nggak bisa ngerjain? Kamu nggak ngerti? Mau belajar bareng?”
“Udahlah nggak usah banyak tanya.” Tania mendecak sebal.
“Ya kan aku perlu tahu.” Aku berkata, lirih. Sial. Aku benci menjadi lembek di depan Tania.
Tania melirik jam tangannya. “Soalnya aku mau pergi sama gengnya
Gary sampe malem. Jadi nggak sempet.” Oh.
“Ya udah aku tinggal ya, kayaknya mereka udah nunggu. Yang becus beresin gudangnya. Bye!”
Aku hanya bisa menatap tak berdaya Tania yang perlahan menjauh. “Tania!”
Dia berbalik, menatapku dengan sebal.
“Aku sayang kamu!” Tanpa membalas kalimatku, Tania tetap melanjutkan perjalanannya dan menghilang di balik gerbang sekolah. Bersambung….
“Ya udah aku tinggal ya, kayaknya mereka udah nunggu. Yang becus beresin gudangnya. Bye!”
Aku hanya bisa menatap tak berdaya Tania yang perlahan menjauh. “Tania!”
Dia berbalik, menatapku dengan sebal.
“Aku sayang kamu!” Tanpa membalas kalimatku, Tania tetap melanjutkan perjalanannya dan menghilang di balik gerbang sekolah. Bersambung….
Aku memejamkan mata sebentar.
Lelah. Kenapa selalu saja begini? Kenapa Tania selalu saja begini? Seakan aku
bukanlah apa-apa baginya. Seakan… Aku hanyalah orang yang pantas ia
suruh-suruh. Bukan pacarnya. Aku tak keberatan jika sekali dua kali dia menyuruhku
mengerjakan tugasnya, sungguh. Aku senang melihatnya bahagia. Aku senang
melakukan sesuatu yang membuatnya
tersenyum. Tapi mungkin dia tidak mengerti kalau aku bukan pembantunya.
Ah, apa yang baru saja aku
pikirkan? Aku mencintainya. Karena itu aku rela melakukan apapun yang dia
ingin. Aku ingin dia selalu membutuhkanku. Aku mencintainya dengan
sungguh-sungguh. Jangan mengeluh, dan lakukan saja apa yang dia suruh. Perlahan
aku menghampiri bola basket yang terletak di sudut ruangan. Gudang ini terletak
persis di depan lapangan sekolah karena semua alat-alat olahraga yang dimiliki
sekolah disimpan di sini. Gudang peralatan olahraga tepatnya. Sekolah sudah
sepi karena bel pulang sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu.
Pertama yang aku lakukan adalah
membereskan alat-alat yang ada di sini. Memasukkan bola basket ke dalam tempat
khusus bola basket, memasukkan kok ke dalam tabungnya, menggulung matras, dan
lain sebagainya. Setelah itu aku membersihkan debu-debu yang ada dengan
kemoceng yang aku temukan di balik pintu. Debu yang terbang saat aku
membersihkan ruangan sempat membuatku batuk-batuk sebentar. Tapi aku tetap
melanjutkannya agar pekerjaan ini cepat beres dan selanjutnya tinggal
mengerjakan PR kimia Tania.
Tenanglah, debu-debu ini tidak akan
membuat asmaku kambuh kan? Tapi ternyata, dugaanku salah. Tiba-tiba saja aku
jadi susah bernapas. Sial. Keringat dingin sudah mengalir di dahiku. Aku coba
bernapas pelan-pelan, tapi gagal. Sial lagi, sekarang aku sudah terduduk di
lantai dan rasanya seperti hampir mati karena susah bernapas. Sial. Sial. Sial.
Susah sekali rasanya bergerak ke arah tasku yang ada di luar gudang. Aku
menundukkan kepalaku sambil berusaha bernapas dengan susah payah. Sial. Apa
semuanya harus berakhir di sini?
“Astaga Ivan, lo kenapa?”
Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam gudang dan langsung
menghampiriku. Dari suaranya, aku tahu itu milik Gaby. Di balik tirai-tirai
rambut sebahunya yang berjatuhan saat duduk dan menunduk untuk melihat wajahku,
aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang berubah pucat. “Are you okay?”
Aku ingin menjawab. Tapi rasanya susah sekali. Tuhan, haruskah aku menangis di depan cewek ini? “In… Ha… Ler. To… Long. Tas…” Aku berusaha menjelaskan. Semoga Gaby mengerti.
Aku ingin menjawab. Tapi rasanya susah sekali. Tuhan, haruskah aku menangis di depan cewek ini? “In… Ha… Ler. To… Long. Tas…” Aku berusaha menjelaskan. Semoga Gaby mengerti.
“Hah?” Gaby mengerutkan keningnya. Ayolah Gaby. Cepat. “Tas lo di
mana?”
“Pin… tu. Lu… Ar. In… Ha… Ler. To… long. Gab.”
Secepat kilat Gaby langsung bergerak ke luar dan mencari-cari tasku. Setelah menemukannya dia langsung membawa tas itu ke hadapanku dan mencari inhaler di depanku dengan tangan gemetar, panik.
“Pin… tu. Lu… Ar. In… Ha… Ler. To… long. Gab.”
Secepat kilat Gaby langsung bergerak ke luar dan mencari-cari tasku. Setelah menemukannya dia langsung membawa tas itu ke hadapanku dan mencari inhaler di depanku dengan tangan gemetar, panik.
Saat menemukannya, dia tidak
langsung memberikannya padaku. Tapi Gaby membantuku duduk tegak dan mengangkat
daguku. Membuka tutup inhaler, mengocoknya sebentar lalu memberiku perintah
untuk menarik napas panjang. Setelah itu baru ia menyerahkan inhaler-ku. Gaby
juga membantuku memasang inhaler. Aku merapatkan bibirku dan berusaha bernapas
melalui inhaler sambil menekan tombol untuk menyemprotkan obat. Bisa ku rasakan
obat tadi menyentuh paru-paruku. Aku menahan napas beberapa detik lalu menghembuskannya.
Setelah ku rasa semuanya sudah baik-baik saja, aku melepas inhaler-ku.
Gaby langsung menerimanya dengan hati-hati lalu menutupnya. “Are
you okay now?”
Aku berusaha tersenyum. Cewek itu langsung memasang tampang lega. Dan menaruh kembali inhaler-ku ke tempat semula. “Gue nggak nyangka lo ngerti cara make inhaler.”
“Haha, kecillah begitu doang,” katanya lalu tertawa.
“Thanks, Gaby.”
“Iya.” Dia lalu mengacungkan jempolnya.
Aku berusaha tersenyum. Cewek itu langsung memasang tampang lega. Dan menaruh kembali inhaler-ku ke tempat semula. “Gue nggak nyangka lo ngerti cara make inhaler.”
“Haha, kecillah begitu doang,” katanya lalu tertawa.
“Thanks, Gaby.”
“Iya.” Dia lalu mengacungkan jempolnya.
“Lagian lo ngapain sih di sini?”
Ya ampun kenapa aku bisa lupa tugas Tania dan malah asyik ngobrol dengan Gaby?
Aku langsung berdiri dan mengambil kemocengku lagi. Saat tanganku sudah siap membersihkan alat-alat olahraga di depanku lagi, saat itu juga tangan Gaby menghalangiku. Apa-apaan dia?
“Lo gila ya?!” Matanya berkilat marah. “Lo barusan udah kayak orang pengen mati gitu terus sekarang lo tetep lanjutin perintahnya Tania? You stupid!”
“Apaan sih?!” Aku membentaknya “Nggak usah ikut campur! Bukan karena lo udah bantuin gue lo bisa ikut campur ya!”
Ya ampun kenapa aku bisa lupa tugas Tania dan malah asyik ngobrol dengan Gaby?
Aku langsung berdiri dan mengambil kemocengku lagi. Saat tanganku sudah siap membersihkan alat-alat olahraga di depanku lagi, saat itu juga tangan Gaby menghalangiku. Apa-apaan dia?
“Lo gila ya?!” Matanya berkilat marah. “Lo barusan udah kayak orang pengen mati gitu terus sekarang lo tetep lanjutin perintahnya Tania? You stupid!”
“Apaan sih?!” Aku membentaknya “Nggak usah ikut campur! Bukan karena lo udah bantuin gue lo bisa ikut campur ya!”
Gaby merebut kemoceng di tanganku dengan kasar. Aku menatapnya
marah. “Lo duduk. Biar gue yang lanjutin.”
“Ap–”
“Lo milih gue rapiin atau gue acak-acak ruangan ini?” Aku bergeming. Dia menunjuk matras dengan kemoceng di tangannya. “Duduk.”
“Ap–”
“Lo milih gue rapiin atau gue acak-acak ruangan ini?” Aku bergeming. Dia menunjuk matras dengan kemoceng di tangannya. “Duduk.”
Akhirnya aku menuruti permintaannya
dan segera duduk di atas matras. Gaby mengambil masker hijau di saku roknya dan
memakainya. Dengan cekatan dia membersihkan seluruh ruangan, menyapu, dan
mengepelnya. Sementara aku hanya bisa menatapnya tak percaya saat gudang ini
akhirnya rapi dan bersih. Gaby melepas maskernya, menaruhnya di saku lagi, lalu
duduk di sampingku. Saat aku ingin mengucapkan terima kasih dan langsung pergi,
bisa ku dengar saat ini Gaby sedang berusaha mengatur napasnya.
“Lo… Kenapa?”
Gaby tetap diam dan mengatur napasnya dalam-dalam. Setelah merasa napasnya kembali teratur, dia menyeka peluh di dahinya. “It’s okay.”
Aku mengangguk.
“Lo tahu nggak sih?” Dia mendecak kesal. “Kadang lo harus kayak gitu juga ke Tania.”
Hah? “Kayak gimana?”
“Kayak yang lo lakuin tadi ke gue. Bentak gue.” Dia menatapku sungguh-sungguh.
Gaby tetap diam dan mengatur napasnya dalam-dalam. Setelah merasa napasnya kembali teratur, dia menyeka peluh di dahinya. “It’s okay.”
Aku mengangguk.
“Lo tahu nggak sih?” Dia mendecak kesal. “Kadang lo harus kayak gitu juga ke Tania.”
Hah? “Kayak gimana?”
“Kayak yang lo lakuin tadi ke gue. Bentak gue.” Dia menatapku sungguh-sungguh.
“Gue benci ngelihat lo yang iya-iya aja setiap kali disuruh-suruh
Tania.”
Aku membuang muka. “Lo nggak bakal bisa marah ke orang yang lo cinta.”
“Ya terserah lo sih kalau tetep mau jadi babunya dia buat selamanya.” Gaby masih menatapku kesal.
“Lo lihat dong sekarang, emangnya dia nggak tahu apa kalau lo punya asma? Tega banget dia.”
Aku membuang muka. “Lo nggak bakal bisa marah ke orang yang lo cinta.”
“Ya terserah lo sih kalau tetep mau jadi babunya dia buat selamanya.” Gaby masih menatapku kesal.
“Lo lihat dong sekarang, emangnya dia nggak tahu apa kalau lo punya asma? Tega banget dia.”
“Kerjaannya cabut mulu. Tugas tinggal minta ke lo. Gampang banget
lagi kalau nyuruh lo. Heran gue, lo masih aja tahan. Padahal jelas-jelas dia
sama Gary–”
“Berhenti jelek-jelekin dia di depan gue!” Sial. Aku kelepasan membentaknya lagi. “Sorry.”
Gaby lalu bangkit. “Lo tuh harusnya buka mata lo. Nggak cuman Tania cewek di dunia ini. Lo cinta dia, gue tahu. Tapi apa lo yakin dia cinta lo?”
Setidaknya Tania masih membutuhkanku.
“Berhenti jelek-jelekin dia di depan gue!” Sial. Aku kelepasan membentaknya lagi. “Sorry.”
Gaby lalu bangkit. “Lo tuh harusnya buka mata lo. Nggak cuman Tania cewek di dunia ini. Lo cinta dia, gue tahu. Tapi apa lo yakin dia cinta lo?”
Setidaknya Tania masih membutuhkanku.
“Lo nggak bakal rugi ngelepasin orang yang nggak sayang lo. Dia
yang bakal rugi karena udah nyia-nyiain lo. Sekarang, terserah lo.”
Aku tidak membalas kata-kata Gaby sampai cewek itu mulai berjalan ke luar. Ketika sampai di depan pintu, dia berbalik, menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “kalau lo mau tahu, gue bisa pake inhaler karena gue punya asma juga.”
Aku tidak membalas kata-kata Gaby sampai cewek itu mulai berjalan ke luar. Ketika sampai di depan pintu, dia berbalik, menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “kalau lo mau tahu, gue bisa pake inhaler karena gue punya asma juga.”
Ap… Apa?
Setelah mengatakan hal tadi, Gaby
berbalik lagi dan mengilang di balik pintu. Bisa ku rasakan rasa bersalah
langsung menghujam ke hatiku. Dia… Kenapa dia sebaik itu? Kalau dipikir-pikir,
dia memang selalu baik padaku. Gaby, pemain gitar akustik terbaik di sekolah
yang entah kenapa selalu ada setiap aku membutuhkannya. Walaupun aku selalu
membentaknya, tapi dia tetap memasang senyum lebarnya yang seperti biasa. Waktu
itu saat Tania menyuruhku membuatkannya makalah, saat aku sedang mencari sumber
dari perpustakaan sekolah, tiba-tiba saja Gaby muncul dari balik rak dan
berkata riang.
“lagi cari apa sih? Gue bantu ya?”
“Nggak perlu.”
“Tentang sejarah sistem periodik kan?” Katanya lalu mengacungkan sebuah buku ke hadapanku.
“Nih gue ambilin. Mau gue rangkumin nggak? Gue tahu lo harus ngerjain makalah Tania yang lainnya juga kan abis ini.”
“Apaan sih lo?” Tanpa menerima buku yang disodorkan olehnya, aku langsung berlalu. Bisa ku lihat Gaby hanya menunduk sebentar lalu mengembalikkan buku tadi ke rak.
“Nggak perlu.”
“Tentang sejarah sistem periodik kan?” Katanya lalu mengacungkan sebuah buku ke hadapanku.
“Nih gue ambilin. Mau gue rangkumin nggak? Gue tahu lo harus ngerjain makalah Tania yang lainnya juga kan abis ini.”
“Apaan sih lo?” Tanpa menerima buku yang disodorkan olehnya, aku langsung berlalu. Bisa ku lihat Gaby hanya menunduk sebentar lalu mengembalikkan buku tadi ke rak.
Atau waktu ketika aku kesusahan mengerjakan hukuman milik Tania:
membawa setumpuk buku tulis milik entah kelas berapa ke meja bu Ratna -guru
kimia- lagi-lagi, Gaby muncul di depanku dengan senyumnya yang biasa. “Biar gue
bantu, Van.” Gaby langsung mencoba mengambil sekitar sepuluh buku tulis yang
aku bawa.
“Nggak usah!” Kesal, sebelah tanganku bereaksi untuk menghalangi tangan Gaby yang sedang mengambil buku, membuat semua buku tulis itu akhirnya jatuh ke lantai. Sial.
“Nggak usah!” Kesal, sebelah tanganku bereaksi untuk menghalangi tangan Gaby yang sedang mengambil buku, membuat semua buku tulis itu akhirnya jatuh ke lantai. Sial.
Aku masih terpaku di tempatku saat Gaby sudah berjongkok dan mulai
memunguti buku-buku itu. Tak ku sangka, dia mengambil semuanya dan mulai
berjalan ke arah ruang guru dengan sedikit oleng. Aku mendecak dan langsung
mengambil lebih dari separuh buku di tangannya lalu mendahuluinya pergi ke
ruang guru.
“Thanks-nya mana?”
“Thanks, tapi gue nggak minta.”
“Thanks-nya mana?”
“Thanks, tapi gue nggak minta.”
Pernah juga, waktu itu ketika Tania meninggalkanku sendiri di
tempat parkir dan memilih pulang bersama Gary ketika mengetahui kondisi ban
mobilku yang kempes, Gaby muncul lagi di tempat parkir. “Mau… Gue bantu
dorong?” Dia bertanya gugup. “Mogok atau kenapa?”
“Kempes.”
“Oh, bilang aja kalau lo perlu bantuan.”
“Nggak usah, gue udah telepon bengkel.”
“Oke.” Dia lalu ikut-ikutan berjongkok di sampingku. “kalau gitu gue temenin nunggu tukang bengkelnya, ya?”
“Kempes.”
“Oh, bilang aja kalau lo perlu bantuan.”
“Nggak usah, gue udah telepon bengkel.”
“Oke.” Dia lalu ikut-ikutan berjongkok di sampingku. “kalau gitu gue temenin nunggu tukang bengkelnya, ya?”
Aku hanya meliriknya heran, lalu
mengangkat bahu cuek yang diartikan Gaby sebagai ucapan ‘ya’. Jadi cewek itu
mulai bercerita tentang apapun lalu tertawa. Anehnya, suara tawanya membuatku
ingin ikut tertawa juga. Dan tadi, dia menggantikanku membersihkan gudang,
dengan mempertaruhkan resiko asmanya bakalan kambuh juga. Dia rela
mempertaruhkan nyawanya demi aku? Gaby yang baik. Gaby yang selalu ada saat aku
membutuhkannya. Dan aku selalu membentak-bentaknya. Tania yang selalu
memerintahku melakukan ini-itu. Tania yang memperlakukanku seperti pembantu.
Dan aku selalu berkorban untuknya.
Sial.
Dengan tergesa aku langsung bergegas ke luar dan mengejar Gaby.
Mengedarkan pandanganku ke koridor sekolah dan akhirnya menemukannya sedang
berdiri diam di tengah-tengah lapangan. Aku langsung menghampirinya. Lagi-lagi
Gaby tampak sedang mengatur napasnya. Perasaan bersalah langsung menghampiriku
lagi. Dengan hati-hati aku menepuk pundaknya. Dia melirikku sebentar, lalu
memejamkan mata. “Lo nggak apa-apa?”
Gaby tersenyum. Entah kenapa, reflek tubuhku meminta aku langsung
menggenggam tangannya. Hangat. Dia membuka matanya, lalu melirik tanganku yang
menggenggamnya sebentar, tapi tidak bereaksi apa-apa. “Lain kali kalau Tania
nyuruh lo, bilang gue ya. Biar gue bantu.” Gaby menatapku dalam-dalam.
“Gue tahu, karena sesama penderita asma nggak boleh kecapean kan?”
Aku menelan ludah dengan susah payah. “Kenapa, Gab? Kenapa lo mau repot-repot bantu gue?”
“Karena katanya, yang selalu ada bisa menggantikan yang teristimewa.”
Sekarang giliranku yang menatapnya dalam-dalam. Mencari kesungguhan kata-katanya. Dan tiba-tiba sensasi aneh langsung menghampiriku saat mata kami akhirnya bertemu.
“Gue tahu, karena sesama penderita asma nggak boleh kecapean kan?”
Aku menelan ludah dengan susah payah. “Kenapa, Gab? Kenapa lo mau repot-repot bantu gue?”
“Karena katanya, yang selalu ada bisa menggantikan yang teristimewa.”
Sekarang giliranku yang menatapnya dalam-dalam. Mencari kesungguhan kata-katanya. Dan tiba-tiba sensasi aneh langsung menghampiriku saat mata kami akhirnya bertemu.
“Janji ya?” Dia melepaskan genggamanku, lalu megacungkan
kelingkingnya.
“Janji apa?”
“Janji panggil gue kalau lo lagi susah, kalau lo perlu bantuan, kalau lo perlu dihibur, kalau lo sedih, kalau lo kecewa, kalau lo marah.” Aku terpana. “Panggil gue ya? Jangan yang lain.”
Dengan mantap aku mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya. Dia tertawa renyah. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa mendengar suara tawaku yang lepas. Tawa lepas yang hanya bisa ku lakukan ketika bersamanya.
“Janji apa?”
“Janji panggil gue kalau lo lagi susah, kalau lo perlu bantuan, kalau lo perlu dihibur, kalau lo sedih, kalau lo kecewa, kalau lo marah.” Aku terpana. “Panggil gue ya? Jangan yang lain.”
Dengan mantap aku mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya. Dia tertawa renyah. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa mendengar suara tawaku yang lepas. Tawa lepas yang hanya bisa ku lakukan ketika bersamanya.
Terkadang, Diposisi seperti ini
didalam hati ini bimbang, disatu sisi aku mencintai Tania, tapi Tania selalu
mementingkan Gary, Gary yang hanya
memfaatkan keadaan Tania, yang merayu Tania dengan harta yang dimilikinya,
Sedangkan di satu sisi Gaby selalu perhatian dan peduli terhadap aku. Tapi
ihhati ini tidak bisa menerima Gaby, dan dihati ini Cuma ada Tania.
Dan aku terkaget ketika Gaby mengejutkan aku,
“Hey kamu kenapa diem ?”, sambil menepuk pundakku.
“Tidak apa”
“Lagi mikirin Tania ya?”
“Enggak kok, Cuma bingung aja, apa yang harua aku lakuin, biar
tania mengerti”
Tiba – tiba mata Gaby berkaca – kaca
“Seharusnya kamu sadar kalau tania itu tidak pernah menganggap
kamu ada”
“Tapi dia selalu deket sama aku Gab, dia selalu memberi semangat”
“Iya tau, dia ndeketin kamu karena dia ada maunya”, Sambut gaby
“Kamu harus, tau kalau Tania tidak bisa lepas dari Gary”
Aku Cuma tertunduk lesu, mendengar saran dari Gaby, dan perasaan
yang campur aduk, dan dihati Cuma berharap Tania, mengerti apa yang aku rasakan
dan aku perjuangkan, bahwa orang yang sebenarnya Mencintai dia dengan tulus itu
aku Bukan Gary, Tapi apa boleh buat Gary punya segalanya, yang mampu menggoda
hati Tania,
Tapi disini aku Cuma berharap dan berharap dan bermodalkan hati
yang tulus untuk mendapatkan Tania.
Ini pelajaran buat kalian semua wanita diluar sana, yang harus
bisa membedakan mana yang sebenarnya serius dan tulus, bukan yang mulus dan
modus,
Jadilah wanita yang bijak mecintai dan memilih seseorang calon
pendampingmu kelak, karena apa yang kamu pilih jadi apa yang terjadi dimasa
depan. Jangan bertahan dengan orang yang hanya ada ketika dia butuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar